Selasa, 04 Januari 2011

TAFSIR AYAT-YAT TENTANG PENEGAKAN HUKUM


BAB I
PENDAHULUAN


Dalam membahas ayat-ayat  tentang penegakan hukum, agama tampak tegas menyikapi hal ini, karena hukum adalah sesuatu yang sangat urgen di dalam sebuah kehidupan, tanpa hukum segalanya akan berakibat fatal bagi manusia.
Islam begitu menjunjung tinggi hukum, karena dengan adanya hukum keadilan dapat ditegakkan sesuai dengan apa yang syari’atkan, tidak ada yang terzalimi bila kita kukuh memegang dan mengamalkan hukum Allah.
Tidak semua penganut agama Allah, memutuskan segala sesuatu berdasarkan ketetapan yang telah termaktub di dalam Al-Qur’an selaku penyempuran kitab-kitab lainnya, melainkan mereka lebih cenderung mengikuti hawa nafsu yang mereka kehendaki dan mereka anggap baik.
Dengan adanya ketetapan hukum dalam aspek kehidupan,Insya Allah akan terciptnya keadilan dan keamanan. Karena setiap perbuatan yang dilakukan mesti dipertanggung jawabkan bila kita memegang teguh pada hukum Allah.
Paparan dalam makalah tafsir ini merupakan separuh masalah yang sebenarnya banyak terjadi di lingkungan kita. Penyusun berharap apa yang menjadi isi makalah sederhana ini merupakan sebuah pelajaran penting bagi kita bersama.


BAB II
PEMBAHASAN
Tafsir ayat-ayat Tentang Penegakan Hukum
A.     Qishash (surat Al-maidah : 45 )
                Artinya :
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
Tafsir :
 Pada nayat ini terlihat bagaimana watak orang yahudi yang menyalahi hukum Allah sebagaimana yang tertera dalam kitab Taurat dengan menentang secara sengaja. Hal demikian terlihat ketika mereka melaksanakan denda terhadap Bani Nadzir jika membunuh seorang Bani Quraidhah, karena itu apabila bani quraidhah membunuh Bani Nadzir, mereka tidak dibenarkan membayar denda, melainkan mesti diqishas. Disini jelas-jelas tidak adil karena mereka memakai hukum sendiri yang cenderung mengikuti hawa nafsu dan meninggalkan hukum yang telah ditetapkan Allah dalam kitab Taurat. Juga merekatelah menyalahi hukum rajam yang tersebut dalam Taurat terhadap perzinaan muhshan dan mereka ganti dengan dera dan membuat malu dengan dibedaki hitam dan dibawa keliling di pasar-pasar. Karena itu Allah berfirman “ siapa yang tidak berhukum menurut apa yang telah diturunkan Allah dengan sengaja mengingkarinya, maka mereka kafir” Karena kesengajaan dan tantangannya terhadap hukum Allah dan disini Allah menyebut : Waman lam yahkum bimaa anzala Allahu fa ulaaika humudh dhalimun. Mereka dianggap zalim, karena mereka tidak berlaku adil terhadap orang-orang yang dianiaya untuk dimintakan haknya dari penganiayaannya.[1]
Dari Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib r.a berkata bahwa  : seorang laki-laki jika membunuh wanita tidak dihukum bunuh kecuali jika wali wanita membayar kepada walinya si pembunuh separuh (setengah) daripada diyat (denda), sebab denda wanita itu setengah dari denda laki-laki.
Ahmad bin Hambal condong kepada pendapat ini. Sedangkan Abu Hanifah berdalil pada umumnya ayat ini, sehingga menyatakan bahwa seorang muslim dapat dihukum bunuh jika membunuh seorang kafir dzimmi, tetapi pendapat ini disanggah oleh jumhur ulama dengan hadits yang tersebut dalam Bukhari Muslim : Rasulullah SAW bersabda : Laa yaqtalu muslimun bikafir : (Seorang muslim tidak dapat dihukum bunuh karena membunuh orang kafir).[2]
Adapun terhadap hamba sahaya, maka banyak kejadian dari sahabat bahwa mereka tidak membalas membunuh terhadap seorang hamba jika dibunuh oleh orang yang merdeka, dan dalam hal ini ditemukan beberapa hadits tetapi tidak shahih melainkan dzaif. Hanya Imam syafi’i berpendapat : itu telah merupakan ijma’ berbeda dengan pendapat ulama Hanafiyah.
Dan menambah kekuatan dengan berdalil dengan ayat ini hadits yang diriwayatkan oleh Abbas bin Malik r.a yang berkata : bahwa bibi Anas mematahkan gigi seri seorang budak wanita, maka keluarlah keluarganya meminta maaf kepada pemilik budak itu, tetapi mereka menolak dan menuntut hukum qishash, sehingga mereka mengadukan kepada Rasulullah saw.
Rasulullah Saw, juga memutuskan hukum qishash. Mendadak saudaranya bernama Anas bin Annadher berkata, “ Ya Rasulullah, apakah akan dipatah gigi Arrubayyi” jawab Nabi saw., “ Hai Anas, Allah menetapkan hukum qishas” berkatalah Anas,” Demi Allah yang mengurusmu dengan hak, tidak boleh dipatahkan gigi Arrubayyi.” Tiba-tiba orang menuntut itu rela dan memaafkan sehingga tidak jadi hukum qishas, maka Nabi saw bersabda : Inna min Ibaadillahi man lau aqsama ala Allahi la abarrahu : (sesungguhnya ada diantara hamba-hamba Allah jika ia bersungguh-sungguh minta kepada Allah pasti diterimanya.) (HR Ahmad, Bukhari, Muslim).[3]
Allah Maha Adil dan tidak ingin ada hambanya yang berlaku zalim terhadap yang lain sehingga pada potongan ayat dinyatakan  Wal juruus a qishash : Dan semua kejahatan dibalas sesuai dengan perbuatan, yakni pembunuhan dengan pembunuhan, mencungkil mata dibalas dengan cungkil mata, memotong telinga dibalas dengan memotong telinga,mencabut gigi dibalas dengan dicabut gigi dan melukai dibalas dengan dilukai, dan dalam hal ini bersamaan orang-orang yang merdeka dari kaum muslimin laki-lakim wanitanya, jika pembunuhan itu dengan sengaja, dan hamba sahaya juga hukuman yang sama di antara mereka, yakni sama-sama budak sahayanya, Jika pembunuhan itu sengaja.
Nah, telah jelas dikemukan melalui tafsir di atas yang menyatakan setiap pembalasan yang setimpal atas penganiayaan terhadap seseorang yang akan diqishash, kecuali pihak yang bersangkutan memaafkannya. Jadi, semua telah terdapat kadar dan batasan yang telah Allah tetapkan.

B.     Berhukum dengan Hukum yang telah Allah Tetapkan ( Surat Al-Maidah : 47 )

Artinya:
Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya [419]. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.                    ( Al-Maidah : 47 )
Tafsir :
Nabi Isa putra Maryam telah membenarkan apa yang diturunkan kepadanya yaitu kitab Injil yang menjadi petunjuk dan hidayah untuk ummatnya, akan tetapi ummatnya memperselisihkan apa yang telah ada di dalamnya. Seperti persoalan dalam masalah qishash yang mereka peselisihkan, mereka lebih cenderung kepada hawa nafsu dan menghukum dengan mengedepankan siapa yang lebih berkuasa, dan menindas yang lemah.
            Bila kita kaji secara tekstual isi injil, maka para ulama menyatakan bahwa injil memansukhkan sebagian dari hukum Taurat. Dan Injil juga membawa tuntunan hidayah dan nasehat bagi orang-orang yang bertakwa. Mencegah mereka dari perbuatan yang haram dan dosa.
            Wa liyahkum ahlul injilili : Dan supaya ahli kitab injil menghukum dengan apa yang telah diturunkan Allah dalam Injil. Juga dibaca Wal yahkum ahlul injiili : Dan hendaklah (haruslah) ahli Injil menghukum dengan apa yang di dalam Injil.
            Yakni semua orang, ummat yang dituruni Kitab Allah harus percaya pada semua yang diturunkan Allah dari wahyu-Nya, dan menegaskan-Nya, melaksanakan semua perintah-Nya dan ajaran-Nya.
            Juga keterangan akan diutusnya Nabi Muhammad serta perintah mengikuti dan mempercayainya jika telah tiba saatnya, Karena itulah Allah menyatakan dalam ayat 68 surat Al-Maidah ini : Katakanlah hai ahli kitab, kalian dianggap beragama, sehingga kalian menegakkan benar ajaran kitab Taurat dan Injil dan semua yang diturunkan Allah kepadamu.[4]
            Dan ayat 157 Al-A’raaf : mereka mengikuti ajaran rasul nabi yang ummi (Muhammad) yang mereka dapati namanya, sifatnya tertulis dalam kitab Taurat dan Injil, menganjurkan segala kebaikan dan mencegah mereka dari orang-orang yang mungkar, menghalalkan semua yang baik dan mengharamkan segala yang keji, dan menghapus semua yang berat dan membelunggu mereka. Maka orang-orang yang beriman pada Nabi itu dan membantunya, membelanya serta mengikuti cahaya penerangan yang diturunkan Allah padanya, merekalah orang-orang yang beruntung dan bahagia.
            Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa apa yang diturunkan Allah kepada nabi Isa dalam kitab Injil merupakan kebaikan dan juga suruhan dari Nabi Muhammad saw. Hal ini jelas dari beberapa ayat pelengkap yang diutarakan di atas. Dan pada intinya orang-orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah adalah orang yang fasik.

C.     Melaksanakan Hukum Allah Secara Konsisten ( Surat Al-Maidah Ayat 49 )

            Artinya :
49. dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.( Al-Maidah : 49)
Tafsir
            Pada dasarnya ayat ini memiliki relevansi dengan surat Al-Maidah : 47 yang sama-sama menerangkan persoalan mengenai pengambilan hukum secara akal-akalan dan mengedepankan hawa nafsu semata.
            Akan tetapi, pada ayat ini, Allah mengisyaratkan kewaspadaan terhadap mereka-mereka yang menyelewengkan sebagian dari apa yang telah diturunkan Allah.
            Dalam setiap kitab- kitab Allah, Allah telah menurunkan hukum syari’at dan tuntunan untuk melaksanakan hukum dengan istiqamah (konsisten).
            Para ulama yang mengkaji lewat sisi ketauhidan, maka terlihat bahwa dalam masalah tauhid,semua agama sejak Nabi Adam as hingga Nabi Muhammad saw, tiada berbeda, tetapi dalam hal halal-haram peraturan masayarakat, Maka Allah berwenang menetapkan dan mengubah dalam masa dan saat yang ditentukannya sendiri, menurut hikmah dan kehendak Allah sendiri, untuk mengkaji ummat manusia siapa yang telah taat dan siapa yang menolak dan melakukan maksiat. [5]
            Di penghujung ayat di atas dapat diketahui bahwa Allah hendak menyiksa orang –orang yang menyeleweng dan orang-orang tersebut dikategorikan sebagai orang-orang yang fasik karena mereka membangkang dari Hukum-hukum Allah.

D.    Perbandingan Antara Hukum Allah dengan Hukum Jahiliyah ( Surat Al-maidah  : 50 )

Artinya :
50. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?( Al-maidah :50)
Tafsir
            Sejarah mencatat bahwa hukum jahiliyah dalam implementasinya lebih cenderung kepada sepihak, dalam artian hukum jahiliyah tidak berlaku adil terhadap pihak-pihak yang lemah dan condong menggunakan hawa nafsu sebagai jalan tengah dalam memutuskan suatu perkara.
            Hal ini bertolak belakang dengan apa yang menjadi tujuan diturunkannya Rasul sebagai rahmatal lil’ alamiin, dengan menyamaratakan seluruh strata sosial ummatnya tanpa membeda-bedakan kaya dan miskin, kuat dan lemah, kaum jelata maupun yang berkuasa. Semua sama derajatnya di sisi Allah, hanya ketakwaan yang membuat mereka mulia.
Dalam ayat ini Allah menimplak terhadap orang yang keluar dari hukum Allah yang mengandung segala kebaikan dan mencegah segala yang mungkar, lalu condong kepada pendapat dan istilah pikiran orang tanpa dasar dari kitab Allah, sebagaimana hukum orang di masa jahiliyah yang menetapkan segala hukum hanya dengan pendapat pikiran dan dorongan nafsum dan siapa yang berbuat sedemikian berarti ia kafir yang harus diperangi supaya kembali kepada hukum Allah dan Rasulullah saw, apakah mereka menghendaki hukum jahiliyah? Dan siapa lah yang lebih adil, bijaksana dan baik dari Allah bagi orang-orang yang telah yakin, percaya dan mengerti bahwa Allah Maha Bijaksana, Maha Belas Kasih terhadap hambanya, yang melebihi kasih seorang ibu kepada bayinya.[6]
            Bila dihadapkan kepada ummat yang benar-benar yakin akan kebenaran hukum Allah, maka tentulah mereka akan memilih hukum Allah yang mengutamakan keadilan tanpa ada yang terzalimi sehingga dapat terciptanya kemaslahatan dan kesejahteraan manusia.

E.     Keadilan dan Amanah dalam Menjalankan Hukum (An-Nisa ayat 58 )

            Artinya :
58. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Al-Maidah : 58 )
Tafsir :
            Keadilan dalam berhukum merupakan hal yang sangat urgen dalam kehidupan apabila sebuah keadilan tidak ditegakkan maka akan terjadinya kesenjangan dari hukum itu sendiri. Hal ini terjadi karena para penguasa dan penegak hukum tidak menjalankan hukum sebagaimana mestinya.
            Keadilan merupakan kata kunci awal dari ayat di atas, di samping itu juga terdapat amanah yang merupakan bagian penting dari penegakan hukum berdasarkan apa yang disyari’atkan Allah.
            Apabila amanat ini tidak dijalankan sesuai dengan perintah Allah, maka mereka yang terlibat dalam penegakan hukum akan cenderung mengandalkan kepentingan pribadi dan kelompok,sehingga hak- hak ummat manusia akan tertindas dan terabaikan.
            Keadilan dan amanah harus dilaksanakan secara bersamaan agar terciptanya penegakan hukum yang berkeadilan dan kaffah, dalam pengertian bahwa setiap manusia dapat merasakan nikmatnya hidup dengan penuh kesetaraan tanpa ada perbedaan dalam mendapatkan suatu keadilan yang seharusnya ditegakkan.
            Termasuk dalam amanat ini adalah keadilan para umara ( pemimpin ) terhadap rakyatnya, dan keadilan para ulama terhadap orang-orang awam dengan membimbing mereka kepada keyakinan dan pekerjaan yang berguna bagi mereka di dunia dan akhirat ; seperti pendidikan yang baik, mencari rezeki yang halal, memberikan nasihat dan hukum-hukum  yang menguatkan keimanan, menyelamatkan mereka dari berbagai kejahatan dan dosa, serta mendorong mereka untuk melakukan kebaikan, sebagaimana keadilan suami terhadap isterinya, seperti tidak meyebarkan rahasia masing-masing pihak, terutama rahasia khusus, seperti rahasia yang  tidak pantas diketahui orang lain.[7]
            Keserasian antara tugas-tugas yang diperintahkan yaitu menunaikan amanat dan memutuskan hukum dengan adil diantara manusia dengan keberadaan Allah sebagai Zat Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat, memiliki relevansi yang jelas dan halus. Maka Allah senantiasa Mendengar dan Melihat masalah-masalah keadilan dan amanat. Keadilan itu juga memerlukan pendengaran dan penglihatan serta pengaturan yang baik[8]  










BAB III
PENUTUP
-         Kesimpulan
Mengenai sekelumit pembahasan yang telah dikupas dalam makalah ini, baik berupa tekstual ayat maupun tafsiran-tafsirannya tampak jelas bahwa hukum Allah lah yang paling ashal dibandingkan hukum jahiliyah yang mengutamakan siapa yang lebih berkuasa dan cenderung mengedepankan hawa nafsu sehingga mereka bersikap semena-mena dengan memutuskan perkara secara akal-akalan dan menindas kaum yang berada di bawah mereka. Begitu bertolak belakang dengan hukum yang telah Allah tetapkan yang penuh keadilan sehingga dengan memegang teguh syari’at, keseimbangan dan kedamaian dalam masyarakat akan tercipta, tanpa ada pihak yang terzalimi karena adanya rasa saling mennghargai terhadap hak-hak orang lain
Singkat kata, hanya dengan hukum yang telah Allah titahkan di dalam kalam-Nya yang dapat menegakkan suatu keadilan dengan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia melalui sebuah kepastian hukum yang menjadi implementasi di dalamnya.





DAFTAR PUSTAKA

1.        Syaikh Syafiyurrahman Al-Mubaraq,  terj. Tafsir Ibnu Katsir,Bogor,Pustaka Ibnu Katsir,2006
2.        Al-Mahalli,Imam Jalaluddin,dkk,Tafsir Jalalain,Bandung, Sinar Baru Algesindo,2003.
3.        Al-Maraghi,Ahmad Mustafa,Tafsir Al- Maraghi,Semarang; Toha Putra,1992,terj.
4.        Qutub,Sayyid,Tafsir Fi Zhilalil Qur’an,Jakarta; Gema Insani,2002



[1]  Syaikh Syafiyurrahman Al-Mubaraq,  terj. Tafsir Ibnu Katsir,(Bogor,Pustaka Ibnu Katsir,2006) hal.103
[2]  Imam Jalaluddin Al-Mahalli,dkk,Tafsir Jalalain, (Bandung ;Sinar Baru Algesindo,2003),hal.190
[3] Tafsir Ibnu Katsir.terj, op,cit .hal 104
[4]  Tafsir Ibnu Katsir, hal. 109
[5]  Tafsir Ibnu Katsir, Hal. 113
[6] Tafsir Ibnu Katsir,Hal. 114 - 115
[7]  Ahmad  Mustafa Al-Maraghi,Tafsir Al- Maraghi, (Semarang; Toha Putra,1992) terj.hal. 113
[8]  Sayyid Qutub,Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, (Jakarta; Gema Insani,2002) .hal.398

2 komentar:

  1. Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

    BalasHapus
  2. thank gan izin copy untuk makalah
    hhehe

    BalasHapus